Powered by Blogger.
RSS

Sebutur Biji Lada

Suatu ketika ada seorang perempuan yang sangat berduka karena anak satu-satunya mati. Sembari membawa jenasah anaknya, perempuan ini menghadap Sang Guru untuk meminta mantra atau ramuan sakti yang bisa menghidupkan kembali anaknya.

Sang Guru mengamati bahwa perempuan di hadapannya ini sedang tenggelam dalam kepedihan yang sangat mendalam, bahkan sesekali ia meratap histeris. Alih-alih memberinya kata-kata penghiburan atau penjelasan yang dirasa masuk akal, Sang Guru berujar :

"Aku akan menghidupkan kembali anakmu, tetapi sebagai syaratnya aku membutuhkan sebutir biji lada."
"Itu saja syaratnya?" tanya perempuan itu dengan keheranan.
"Oh, ya, biji lada itu harus berasal dari rumah yang anggota penghuninya belum pernah ada yang mati."

Dengan "Semangat 45", perempuan itu langsung beranjak dari tempat itu, hatinya sangat antusias, "Guru ini memang sakti dan baik sekali, beliau akan menghidupkan kembali anakku!"

Dia mendatangi sebuah rumah, mengetuk pintunya, dan bertanya :
"Tolonglah saya. Saya sangat membutuhkan satu butir biji lada. Maukah Anda memberikannya?"
"O, tentu saja," jawab tuan rumah.
"Anda baik sekali Tuan, tapi maaf, apakah anggota rumah ini belum pernah ada yang mati?"
"O, ada, paman kami meninggal tahun lalu."
Perempuan itu segera berpamitan karena dia tahu bahwa ini bukan rumah yang tepat untuk meminta butir biji lada yang dibutuhkannya.

Ia mengetuk rumah-rumah berikutnya, semua penghuni rumah dengan senang hati bersedia memberikan biji lada untuknya, tetapi ternyata tak satu pun rumah yang terhindar dari peristiwa kematian sanak saudaranya.
"Ayah kami barusan wafat..."
"Kakek kami sudah meninggal..."
"Adik kami tewas dalam kecelakaan minggu lalu..."
Begitu seterusnya.

Kemana pun dia pergi, dari gubuk sampai istana, tak satu pun yang memenuhi syarat tidak pernah kehilangan anggotanya. Dia malah terlibat dalam mendengarkan cerita duka orang lain. Berangsur-angsur dia menyadari bahwa dia tidak sendirian dalam penderitaan ini; tak seorang pun yang terlepas dari penderitaan.

Pada penghujung hari, perempuan ini kembali menghadap Sang Guru dalam keadaan batin yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Dia mengucap lirih, "Guru, saya akan memperabukan anak saya."
Sang Guru hanya mengangguk, seraya tersenyum lembut.

Mungkin saja Sang Guru mampu mengerahkan kekuatan adibiasanya dan menghidupkan kembali anak yang telah mati itu, tetapi kalau pun demikian, apa hikmahnya? Bukankah anak tersebut suatu hari akan mati lagi juga? Alih-alih berbuat demikian Sang Guru membuat perempuan yang tengah berduka itu mengalami pembelajaran langsung dan menyadari suatu kenyataan hidup yang tak terelakkan bagi siapa pun.

Penghiburan sementara belaka bukanlah solusi sejati terhadap peristiwa dukacita mendalam seperti dalam cerita diatas. Penderitaan hanya benar-benar bisa diatasi dengan pemahaman yang benar akan dua hal :
1. Pada dasarnya penderitaan dan kebahagiaan adalah sesuatu yang bersumber dari dalam diri kita sendiri.
2. Kenyataan hidup sebagaimana adanya, bukan sebagaimana maunya kita.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment