Powered by Blogger.
RSS

Cinta yang Menuntut

Berikut ini adalah sebuah kisah tragis mengenai betapa sulitnya mencintai tanpa syarat. Ceritanya mengenai seorang sedadu Amerika yang baru saja tiba dari Perang Vietnam. Hari itu juga, tentara itu menelpon orangtuanya yang tinggal di San Francisco. Kebetulan yang mengangkat telpon adalah ibunya yang begitu gembira mendengarkan anaknya.

Tentara itu berkata kepada Ibunya, "Bu, sebentar lagi saya akan pulang. Tapi, saya mempunyai satu permintaan. Saya punya seorang teman yang akan saya bawa turut bersama dengan saya."

Si Ibu dengan senang berkata, "Boleh saja. Kami akan senang sekali bertemu dengannya".

"Tapi, Bu, ada hal penting yang ingin saya ceritakan tentangnya. Dia mengalami luka parah saat perang. Tanpa sengaja ia telah menginjak ranjau yang menyebabkan satu tangan serta kakinya hilang. Sekarang dia tak tahu harus pergi ke mana. Saya ingin ia bersama kita, "demikian kata anaknya.

Setelah terdiam sejenak, ibunya membalas, "Kami turut menyesal tentang temanmu itu. Tapi, mungkin saja kita bisa carikan tempat lain di mana ia bisa tinggal."

Dengan nada sedikit ngotot si anak mulai berkata, "Tidak, Ibu, saya ingin dia tinggal bersama dengan kita."

Si Ibu mulai membalas dengan sedikit kasar, "Nak, kamu tidak tahu apa yang kamu minta. Orang dengan kondisi cacat seperti itu akan menjadi beban berat untuk kita. Kita sendiri punya kehidupan yang harus kita jalani. Dan kita tidak mungkin membiarkan orang seperti ini mengganggu kehiduapan kita. Ayah dan Ibu pikir, lebih baik kamu pulang dan lupakanlah temanmu ini. Dia pasti akan menemukan jalan hiduonya sendiri."

Setelah mendengarkan jawaban ini, telepon ditutup oleh anaknya. Hingga beberapa hari lamanya, kedua orangtua ini tidak mendapat kabar apa pun soal anaknya. Suatu hari, mereka justru menerima telepon dari kepolisian di San Francisco. Anak mereka ditemukan meninggal setelah jatuh dari gedung. Diperkirakan, anaknya telah bunuh diri.


Dengan penuh perasaan sedih, mereka bergegas menuju ke rumah sakit yang ditunjukkan oleh polisi, di mana mayat anaknya diletakkan. Dengan berhati-hati, mereka diminta untuk mengidentifikai apakah dia benar-benar anaknya. Mereka memang mampu mengenali raut wajah anaknya yang telah meninggal. Mereka amat terpukul, tetapi yang lebih membuat mereka sedih lagi, ternyata anaknya hanya mempunyai satu kaki dan satu tangan!

Betapa sikap dan perilaku orangtua ini mencerminkan sikap dan perilaku kebanyakan dari kita. Tanpa sadar, kita lebih mencintai dan lebih mau menerima orang lain yang sesuai dengan harapan dan keinginan kita. Celakanya, keinginan ini tidak sekedar harapan, tetapi juga meruapakan sebuah tuntutan. Inilah yang oleh Ken Keyes, dalam bukunya The Power of Unconditional Love dikatakan sebagai sumber ketidakbahagiaan emosional manusia.

Ken Keyes menjelaskan sumber perasaan yang tidak menyenangkan ( unpleasant emotion ) seperti rasa jengkel, marah, benci sebagai akibat pemprograman di dalam otak kita yang berisi tuntutan-tuntutan dari orang-orang di sekeliling kita. Karena program di otak kita lebih bersifat tuntutan ( demand ) daripada pilihan ( preference ), kita terus-menerus mengalami perasaan tidak puas dalam hubungan kita dengan orang lain. Kita menuntut agar orang lain berpikir, bertindak, serta berperilaku seperti tuntutan kita.

Untuk mengatasi hal itu, ada sebuah tips sederhana bagi Anda. Daripada menuntut, mulailah menggunakan bahasa - bahasa pilihan yang ternyata lebih baik. Misalnya, daripada memaksa orang atau anak buah kita dengan berkata, "Kamu harus rapi. Kamu mesti datang lebih pagi," katakanlah begini : "Saya lebih suka kalau kamu rapi, Saya lebih senang kalau kamu datang lebih pagi." Kalimat-kalimat ini tidak memaksa ( demanding ), tapi lebih menunjukkan pilihan kita ( preference ). Dengan pola kalimay seperti itu, orang tidak merasa dipaksa, tapi dimintai secara baik - baik untuk melakukan apa yang kita inginkan.

Ingatlah rasa kasih sayang yang diberikan dengan syarat - syarat pada dasarnya bukanlah kasih sayan, tapi bisnis.

Sumber : Smart Emotion, Anthony Dio Martin. Hal. 142



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment